Muhammad
Amin al-Husseini, Mufti Besar al-Quds (Jerusalem), memimpin perlawanan
Palestina melawan Yahudi dan Inggris dari pembuangannya di Berlin, dan mantan
Perdana Menteri Irak Rashid Ali al-Gailani juga memimpin perlawanan bangsanya
dalam melawan imperialisme Inggris dari ibukota Jerman tersebut. Terdapat pula
grup-grup pelopor dari jurnalis Arab, penulis, dan aktivis yang berjuang demi
kemerdekaan negara mereka masing-masing dari pengasingan mereka di Jerman.
Dan sekarang saya
ingin bertanya: Kita dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda, dan kemudian
Belanda sendiri diperangi oleh Hitler, lalu mengapa sekarang kita berkaok-kaok
menghujat Nazi dan segala sesuatu tentangnya dengan "berpedoman" pada
propaganda karbitan yang kita telan mentah-mentah? Apakah dalam sejarahnya Nazi
Jerman pernah menjajah Indonesia? Apakah dalam sejarahnya Nazi Jerman begitu
berlumuran darah orang-orang Muslim? Jawabannya adalah: WADON BAE BLE'E-BLE'E
(baca: TIDAK!)
Saya ingatkan lagi
tentang apa yang telah ditulis sebelumnya tentang strategi geopolitik Jerman,
kebangkitan Jerman sebagai negara superpower dan pendirian divisi-divisi Islam.
Semua ini telah menyediakan sebab bagi kebijakan-kebijakan Hitler yang sangat
pro-Muslim. Hambatan utama terletak dari diplomat-diplomat tua yang lebih
memilih kebijakan konservatif demi menenangkan kekuatan-kekuatan dunia saat itu
dan tidak mengancam keseimbangan kekuatan yang ada. Tapi disana terdapat pula
elemen-elemen muda dalam tubuh Kementerian Luar Negeri Jerman yang ingin
mengambil keuntungan dari perjuangan anti-kolonialisme yang digalakkan
negara-negara terjajah sehingga mereka mendukung adanya kebijakan pro-Arab
dalam melawan Zionisme yang didukung oleh imperialis Barat. Tentu saja hal ini sangat
klop dengan arah kebijakan yang diambil Hitler saat itu.
Para pendukung Arab
ini di antaranya adalah Dr. Fritz Grobba, seorang veteran di Kementerian Luar
Negeri dari tahun 1924 yang kemudian bertugas sebagai Duta Besar Jerman di Irak
dan Arab Saudi. Dia merupakan seorang pengagum kebudayaan Islam yang dijuluki
"Lawrence of Arabia-nya Jerman" dan menjadi teman dekat dari
al-Husseini. Setelah Perang Dunia II usai, Grobba memeluk agama Islam dan
menjadi penghubung politik antara pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser dengan
pihak Jerman dan Soviet (Kevin Coogan, Dreamer of the Day: Francis Parker
Yockey and the Postwar Fascist International, New York: Autonomedia, 1999,
halaman 383).
Tokoh lainnya
adalah Werner-Otto von Hentig, teman dekat dari Grobba yang merupakan mantan
kepala Divisi Arab di Kementerian Luar Negerinya Joachim von Ribbentrop.
Setelah perang usai, dia menghabiskan sebagian besar waktunya di Timur Tengah.
Pada tahun 1955 Raja Ibnu Saud menunjuknya sebagai kepala penasihat Eropa untuk
Arab Saudi. Dahsyatnya lagi, dia kemudian menjabat sebagai Duta Besar Jerman
untuk? Indonesia! Dalam kapasitasnya tersebut, dia menemani delegasi Saudi
sebagai penasihat khusus dalam Konferensi Asia-Afrika yang digelar di Bandung
bulan April tahun 1955. Hentig memberi nasihat pada orang-orang Arab untuk
mengadopsi kebijakan netralisme dalam politik dunia dan mempertahankan
kemerdekaan mereka dari super power dunia saat itu, Amerika dan Rusia (Kevin
Coogan, Dreamer of the Day: Francis Parker Yockey and the Postwar Fascist
International, New York: Autonomedia, 1999, halaman 384).
DI BAWAH INI DAFTAR
BEBERAPA MEREKA YANG HAMPIR MENJADI MUALAF
Erich Altern (Ali Bella) : Mantan komisioner seksi urusan Yahudi di Gestapo
yang kemudian menetap di Mesir dan menjadi instruktur para pejuang perlawanan
Fatah dalam melawan Israel.
Hans Appler (Salah Chaffar) : Mantan anakbuah Goebbels yang kemudian bekerja di
Kementerian Informasi Inggris tahun 1956 dan kemudian dilanjutkan dengan
menjadi anggota Islamic Congress.
Franz Bartel (Hussein) : Asisten kepala Gestapo di Kattowitz, dari sejak tahun
1959 dia lalu bertugas di departemen Yahudi yang menjadi bagian dari
Kementerian Informasi Mesir.
Walter Baumann (Ali Ben Khader) : SS-Sturmbannführer yang pernah bertugas di
Warsawa, dia lalu bekerja di Kementerian Peperangan Mesir dan menjadi
instruktur Front Pembebasan Palestina.
Fritz Bayerlein : Jenderal terkenal Perang Dunia II yang pernah bertempur
bersama Erwin Rommel di Afrika Utara. Dia ikut membantu perbaikan tank-tank
kepunyaan Angkatan Darat Mesir.
Hans Becher : Kepala seksi Yahudi Gestapo di Wina, dia kemudian menjadi
instruktur kepolisian Mesir di Alexandria (Iskandariyah).
Wilhelm Beissner : Kepala Kantor Pusat Keamanan Reich (RSHA) yang kemudian
bertempat tinggal di Mesir.
Bernhard Bender (Bashir Ben Salah) : perwira Gestapo yang pengetahuan
mendalamnya akan Yiddish membuatnya mampu masuk ke dalam organisasi bawah tanah
Yahudi di Warsawa. Dia kemudian bertugas sebagai penasihat satuan polisi
politik di Kairo dengan pangkat Letnan Kolonel.
Werner Birgel (El-Gamin). Perwira SS dari Leipzig yang bertugas di Kementerian
Informasi Mesir.
Wilhelm Böckler (Abd al-Karim) : SS-Untersturmführer yang bertugas di Warsawa.
Dia kemudian menjadi seorang pejabat di Kementerian Informasi Mesir bagian
urusan Israel setelah kabur ke negara tersebut pada tahun 1949.
Wilhelm Börner (Ali Ben Keshir): SS-Sturmbannführer yang kemudian bertugas di
Kementerian Dalam Negeri Mesir dan menjadi instruktur Front Pembebasan
Palestina.
Alois Brunner (Ali Mohammed) : Perwira SS yang memegang posisi senior di
Departemen Yahudi pimpinan Adolf Eichmann. Dia kemudian menjadi penasihat
pasukan khusus Mesir dan Suriah. Mossad (dinas intelijen Israel) berkali-kali
mencoba membunuhnya di Damaskus, yang diberitakan sebagai tempat tinggalnya.
Friedrich Buble (Ben Amman) : SS-Obergruppenführer bersama Gestapo yang
kemudian menjadi direktur Departemen Hubungan Masyarakat Mesir tahun 1952
sekaligus sebagai penasihat pasukan polisi Kairo.
Franz Bünsch: Anak buah Goebbels yang menjadi koresponden BND di Kairo dan
membantu mengorganisasikan mata uang Riyal Arab Saudi tahun 1958.
Erich Bunzel : SA-Obersturmführer sekaligus Major dan kolega Goebbels. Dia
kemudian bertugas di departemen Israel di Kementerian Informasi Mesir.
Joachim Däumling (Ibrahim Mustafa): Kepala Gestapo di Düsseldorf, dia kemudian
menjadi penasihat sistem penjara Mesir dan anggota pelayanan operator radio di
Kairo. Dia dipekerjakan untuk membantu pengembangan dinas intelijen Mesir.
Hans Eisele : Dokter SS dengan pangkat Hauptsturmführer yang kemudian menjadi
staf medis di fasilitas pesawat dan misil Mesir di Helwan sampai dengan
kematiannya tahun 1965.
Wilhelm Fahrmbacher : Generalleutnant dalam tubuh Wehrmacht yang menjadi
penanggungjawab Vlassov Armee di Prancis tahun 1944. Dia kemudian bertugas
sebagai penasihat militer Gamal Abdel Nasser dan bergabung dengan staff perencana
pusat di Kairo.
Eugen Fichberger : SS-Sturmbannführer
Leopold Gleim (Ali al-Nasher) : SS-Standartenführer di Warsawa dan kepala
departemen Gestapo untuk urusan Yahudi di Polandia. Dia kemudian bertugas di
dinas intelijen Mesir.
Gruber (Aradji) : Teman dekat kepala Abwehr (Dinas Intelijen Wehrmacht) Admiral
Wilhelm Canaris. Dia lalu melarikan diri ke Mesir dan bekerja untuk Liga Arab
dari tahun 1950.
Baron von Harder : Mantan asisten Goebbels yang kemudian tinggal di Mesir.
Ludwig Heiden (Luis el-Hadj) : Perwira SS sekaligus jurnalis Weltdienst (agen
pers Jerman) yang ditransfer ke kantor pers Mesir dalam Perang Dunia II.
Setelah perang usai, dia kembali lagi ke Mesir tahun 1950 dan menulis buku-buku
tentang Third Reich dalam bahasa Arab!
Aribert Heim : SS-Hauptsturmführer yang kemudian menjadi dokter di pasukan
kepolisian Mesir.
Franz Hithofer : Perwira Gestapo di Wina yang melarikan diri ke Mesir tahun
1950.
Ulrik Klaus (Muhammad Akbar).
Karl Luder : Mantan kepala Hitlerjugend di Polandia yang kemudian bertugas di
Kementerian Peperangan Mesir.
Gerhard Mertins : SS-Standartenführer.
Rudolf Mildner : SS-Standartenführer dan kepala Gestapo di Katowitz dan Polizei
di Denmark. Dia bertempat tinggal di Mesir dari tahun 1963.
Alois Moser : SS-Gruppenführer yang bertugas di Ukraina dan kemudian menjadi
instruktur gerakan paramiliter BAJU HIJAU di Kairo.